Diberdayakan oleh Blogger.

Persamaan (yang) tak Pernah Sama

Human is a unique creatures ( manusia adalah mahkluk yang unik ). Banyak yang mengatakan tingkat kecerdasan seseorang dilihat dari apa yang dilakukannya sehari hari, seperti kedisisilpinan, kerapian berpakaian, hingga tindak tanduk termasuk cara ngomongnya.  Sadarkah kita? Siapa yang berhak untuk menciptakan pola bahwa manusia seperti itu? Apakah kita tidak mengaburkan kodrat bahwa manusia adalah seutuhnya apa yang ia lakukan sesuai dengan apa yang ia rasakan?

Menyingkap tabir pemahaman dewasa ini yang terlalu kaku, rigid dan terbentuk menjadi pola-pola tertentu misalkan terjajahnya pemikiran manusia karena doktrin-doktrin awaupun pakem yang seharusnya bisa dilakukan. Bicara pemahaman tentang bagaimana menjadi manusia, mari kita tilik tujuan sebenarnya pendidikan itu seperti apa? Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dari yang belum tau menjadi tau, dari yang belum bisa menjadi bisa. Sederhana sekali jika kita menelanjangi hanya sebatas tekstualnya saja. Karena pada dasarnya manusia dibekali dengan 3 jenis kesadaran. Yaitu kesadaran dengan diri sendiri disebut dengan kesadaran naif. Kesadaran dengan lingkungan sekitar disebut dengan kesdaran kritis, lalu kesadaran tentang pemahaman semesta yang berkaitan dengan holistik atau ketuhanan disebut kesdadaran magis. Tiga konsep dasar kesadaran yang sebagai bentuk universal pola manusia dalam konteks kesadaran.

Berkembangnya zaman dengan dinamika masyarakat yang kian majemuk, bisa dilihat dari keberagaman profesi yang ada hanya ada beberapa saja yang diatur oleh undang-undang. Jika kita mampun menyingkap bagaimana jika seseorang tersebut dikatakan ahli atau profesi serta dijamin pekerjaannya oleh undang-undang? Apakah ada hal yang pantas ia dapatkan untuk aktualisasi? Apakah pemerintah akan menampung aspirasi apa yang ia perbuat tentang bagaimana ia menempatkan diri dan menjadi pelaku dari cita-cita yang katanya dalam rangka mengisi kemerdekaan dengan menjadi warga negara yang baik serta mengabdi kepada negara republik indonesia?
Contoh, pengangguran yang ada di Indonesia bukan hanya karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja. Lah kalau kita mau bekerja sendiri meskipun itu tidak dijamin pekerjaannya oleh undang-undang sekalipun, negara tidak berhak mengatur ataupun mempersulit jalan kehidupan seseorang. Demokrasi seolah-olah membuat orang yang berkreasi bungkam karena sistem birokrasi yang memfasilitasi ataupun yang mempunyai wadah untuk memperdayakan sesuatu tidak merasa terlalu penting dengan urusan yang demikian. Mereka hanya patuh terhadap protokoler-protokoler tetapi di sisi lain tentang jiwa rasa kepemilikan dianggap tidak ada saat mereka berkuasa. Apa yang ia miliki, dan apa yang ia miliki menjadi salah satu tujuan utama dan pada umumnya seperti itu adanya. Kekuasaan dapat dimanfaatkan kedalam beberapa bentuk, seperti membangun dinasti, membangun sistem kapitalis, dan membangun sesuatu untuk memberdayakan kelompok tertentu saja. Padahal elemen yang ada dan mengharapkan sorotan dari mereka yang berkuasa sangatlah kompleks. Sudah menjadi kewajiban mereka yang berkuasa untuk merangkul sebagai bagian dari apa yang ia pimpin. Sudahkah di daerah kita ada kesadaran kritis seperti ini?

Elemen elemen unik tadi dapat dikatakan didalamnya ada kebudayaan, ada komunitas, dan ada orang-orang yang memiliki rasa kepedulian dan kepemilikan kebersamaan  (sense of belonging). Harmonisasi dapat dihadirkan kala kita tidak mencari perbedaan, tetapi persamaan yang patut dibanggakan. Bahwa kita seharusnya dapat memposisikan diri apakah kita sebagai rule of the game or just an audience ?

Sebuah pola tentang bagaimana kita menyikapi suatu hal, dalam hal ini adalah peristiwa kemunduran zaman. Kenapa dikatakan seperti itu? Banyak nilai-nilai yang luntur terutama dengan kearifan lokal yang kita dulu bangga-banggakan. Tentang bagaimana bangsa ini maju karena kekompakan dan semangat gotong royong,tetapi kini serba komersil. Ke WC umum saja kita bayar. Parkir saja kita bayar, bahkan kalo kita kesuatu tempat yang sepi, disana disediakan gelaran tikar lalu kita pakai, tau-tau ada orang yang nungguin sambil ngitungin berapa lama kita menduduki tikar itu. Apa yang terjadi di bangsa ini, saat anak-anak sekarang dicekoki dengan pembelajaran yang jauh dari perikemanusiaan?

Tidak ada komentar:

author
Catur Pamungkas
Hanya kataku, yang tak seharmoni angan dan imaji.