Diberdayakan oleh Blogger.

Membuat 'Rasa'

How to Make A Sense ?

 
Membangun rasa, dalam artian sempitnya adalah membangun rasa saling memiliki satu sama lain, entah itu ada dalam ikatan berupa Dhahir (lahir / nampak) maupun ikatan secara Ghaib (tak nampak). Dalam kalangan muda-mudi, membangun rasa atau lebih populernya chemistry seringkali dikaitkan dengan adanya persamaan entah itu hobi, perasaan ataupun kesukaan lainnya pokoknya ada sesuatu yang sama.

The Paradox Law, mengajarkan kita sejatinya yang tak cocok / berbeda bahkan bertolak belakangpun bisa untuk saling beriringan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Sama halnya dengan muatan listrik negatif dan positif. Jika dipadukan akan menghasilkan lompatan ion berupa tenaga listrik yang dihadilkan serta bermanfaat untuk semua orang. Hal ini sudah lama sebelum Thomas Alfa Edison membuat lampu pijar pertama kali dengan menggunakan kain kasa sebagai alat percobaannya dulu. 

Banyak hal yang berbeda sejatinya dapat dipadukan jika tidak mengubah nilai itu sendiri. Tapi membuat warna-warna yang ada menjadi indah seperti layaknya pelangi dikala hujan deras usai menerpa. 

Sense of belonging?  
Suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita adalah rasa saling memilikki, melindungi, ingin berbuat sesuatu dan mempertahankannya dengan sebisa mungkin serta timbul dari dalam jiwa tanpa adanya paksaan apapun. Hanya semata-mata karena memiliki perasaan yang sama dan memiliki hubungan diantaranya. 
 
Geschel Schaff atau bisa disebut dengan paguyuban contohnya, merupakan sebuah fenomena rasa kedaerahan yang muncul dari dinamika kehidupan sosial manusia. Mereka saling mendukung apapun yang terjadi jika sudah bertemu dan memiliki wadah untuk bersosialisasi dengan paguyubannya. Dengan suka rela mereka mengupayakan apa yang nilai diperjuangkan dan harus di-uri-uri dapat dilestarikan. Hal ini bisa terikat dengan rasa cinta terhadap asal daerah, tanah kelahiran yang memiliki nilai budaya dan sejarah kompleks.
 
Cara membangunnya tentu tidak akan bisa dengan paksaan, tapi dengan rasa yang timbul atas dasar dari panggilan jiwa, kebersamaan dan kepedulian. Bukannya harus mengemis belas kasihan untuk menerima sumbangsih seperti dana, tapi menggunakan hal yg lebih bermatabat seperti memberdayakan potensi yang ada untuk dijadikan lebih manusiawi dan di pandang penting. Bukan juga berarti memperdaya, tetapi memberdayakan dengan inisiator yang dapat menjadi panutan seperti memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk melakukan susatu hal.
 
Gotong Royong vs Individualisme  
Kebersamaan dan saling mendukung satu sama lain adalah budaya yang sudah menjadi kebanggan bangsa kita sedari dulu jika kita mau menilik lebih jauh tentang sejarah jati diri kebangsaan. Namun tantangan yang seharusnya dapat membangun itu kian lama tergerus dengan berbagai kebebasan dan hak masing-masing yang bersifat perorangan. Tentu bukan berarti inilah yg menjadi perusak citra gotong royong itu sendiri, melainkan cara pandang, paradigma serta karakter yang perlunya dikuatkan sebagaiamana perjuangan yang ada di era dinamisasi kehidupan serba modern ini.

Tidak ada komentar:

author
Catur Pamungkas
Hanya kataku, yang tak seharmoni angan dan imaji.